19.3.10

Mimpiku hitam-putih, sederhana namun bersahaja…



Tentang sebuah mimpi, yang bukan sekedar bunga tidur. Tentang sebuah dunia penuh warna, yang bukan sekedar hitam-putih. Tentu semua menginginkannya. Bahkan psikopat paling akut pun, tentu tidak bermimpi dan bercita-cita menjadi psikopat sedari kecil dan hanyut larut dalam gelapnya lorong-lorong panjang tanpa cahaya di waktu besar. Pun sama halnya denganku. Terlahir diantara kerasnya batu jalanan, tumbuh diantara sejuta pijakan rapuh, dan besar diantara keduanya, seperti layaknya sebuah metamorfosa beraroma karbit. Dan karenanya, melambungkan angan menembus awan, dengan berjuta imaji penuh warna pelangi. Meski kadang menjadi pucat pasi, dan tenggelam dalam putaran kabut ilusi. Namun tetap saja. Segala mimpi itu ada. Dan tetap di sana. Tetap sama dalam pancaran sinar penuh warna. Diam tak bergeming. Berdiri tegar bagai karang, siap menantang sejuta gelombang. Seolah mengamini sebuah sajak Andrea Hirata, ”Peluklah mimpimu, maka Tuhan akan Memeluk Mimpimu... ”

Dan begitulah setiap harinya. Bahkan mungkin sama dengan kalian. Memenuhi rongga jiwa dengan asa, yang kian hari kian marak penuh warna warni. Dan selalu terbangun dengan segala keinginan dan hasrat yang jauh meninggalkan bumi. Kemudian mengawali hari dengan gejolak rancangan yang membuncah. Sebuah logika manusiawi, yang kian bertumbuh dan berproses, seiring termakannya usia untuk memenuhi panggilan hakiki duniawi. Hingga kemudian, terpuruk pada suatu kenyataan hitam-putih. Kenyataan positif-negatif. Kenyataan tawa-tangis. Kenyataan bahagia-duka nestapa. Kenyataan yang berada dalam naungan rahasia Illahi.

Dan begitulah manusia. Dan begitulah aku. Selalu mencoba memenuhi bumi yang sesak penuh warna, dengan warna warni yang kupunya. Yang justru malah membuatnya menjadi sebuah abstraksi tanpa keindahan yang harmoni. Seperti sebuah rhapsody tanpa notasi. Hingga membuatku tersadar. Bahwa bukan ini yang diinginkan dari sebuah mimpi. Dan bahwa bukan ini jalan menuju mimpi. berawal dari niatan penuh warna warni, namun kemudian terjatuh pada pilihan hitam-putih. Dan Berawal dari sebuah keruwetan dan kerumitan muluk, namun kemudian jatuh pada apa yang disebut ”biasa saja” bahkan mungkin nyaris ”tanpa nilai”.

Maka sejak hari itu. Hari dimana aku mendapati sebuah kesadaran. Hari dimana aku berjalan, menemukan, dan membuka rahasia alam satu demi satu. Aku merubah mimpiku. Mencoba menjungkirbalikkan semua yang telah tertanam dan terpola dengan kuatnya. Dan menjadikannya sederhana. Sesederhana batin dan jiwaku. Sesederhana hidup yang kumiliki. Dan menjadikannya hitam-putih, untuk meraih indahnya warna-warni bumi. Bangun dengan segala kesederhanaan pikiran. Melangkah dengan segala kesederhanaan tindakan dan perbuatan. Menanamkan keyakinan baru, bahwa makin sederhana hidup dan perbuatan, makin mudah meraih yang kita inginkan dan kita impikan. Dan inilah mimpiku. Mimpi HITAM-PUTIH. Sederhana namun bersahaja. Untuk meraih PELANGI indah penuh warna. Hingga tercipta rhapsody penuh harmony......


***teruntuk semua yang punya mimpi, yang tumbuh dan berkembang bersamanya dan bukan didalamnya***

14.3.10

Life begins at 24 @_@



“Life begins at 40” tentu sudah tertanam di benak siapapun termasuk aku sendiri. Sebuah deretan kata yang seringkali menjadi senjata perlarian paling ampuh. Senjata pelarian ketika menengok ke dalam diri dan berkaca jauh ke dalam dengan segala kejujuran. Dimana kemudian mendapati diri masih terpaku pada titik yang sama. Tidak beranjak atau bahkan malah jauh mundur ke belakang. Dan kemudian, tersenyum bangga, membatin dalam diri, mencoba memberi sedikit oksigen bagi jiwa, dan berkata, ”Life begins at 40... Tenang, Den...just hang on...” Jika memang benar adanya dan boleh diyakini kebenarannya, tentu sungguh melegakan. Dan bisa berlindung daripadanya ketika seseorang bertanya, ”kok masih gini-gini aja, Den... ??” Serta menganggapnya sangatlah wajar karena masih ada waktu 10 tahun lagi untuk berjalan, berlari, berputar, dan menari.

Tapi sepertinya jaman sudah berubah. Dan sepertinya, deretan kata sakti itu tidak berlaku lagi sekarang. Sore itu, di sebuah toko buku, aku berjalan perlahan menyusur barisan rak demi rak, dengan mata selebar dan sejeli mungkin. Lama berjalan perlahan, kesana kemari, mencoba memastikan diri tak satu judul buku pun yang terlewat. Dari mulai buku-buku akademis, praktis, fiksi – nonfiksi, sampai komik (my most fave books). Hingga aku terpaku pada sebuah judul buku “LIFE BEGINS AT 24” karya seorang Rohaniwan. Aku pun berhenti, melihat buku itu dengan seksama, berusaha memastikan mataku tidak salah mengejanya. Pelan tapi pasti, kujulurkan tanganku, mengambil buku itu, tanpa membukanya sedikitpun. Bahkan untuk sekedar mencari tau review di bagian belakang bukunya pun tidak. Benar-benar hanya tertuju pada deretan kata bertuliskan “Life Begins at 24”. Menatap lekat seolah menembus jauh ke dalam huruf demi huruf itu. Sekian lama terdiam, dan terpaku, seolah tersedot dalam daya magisnya, aku pun tersenyum, kemudian tertawa kecil. Tersenyum dan tertawa untuk diriku sendiri. Tersenyum dan tertawa, mentertawakan diriku sendiri. Dan kembali membatin, “Tuhan, maaf dan terima kasih. Aku salah dan bodoh. Salah dengan segala keyakinan atas pelarianku. Bodoh atas segala kebanggaan meyakini sesuatu yang salah, dan berlindung penuh damai di dalamnya. Terima kasih telah memberiku peringatan kecil, melalui satu pertemuan tak terduga dengan sebuah kalimat penuh warna-warni itu, satu kalimat yang mungkin sudah ada sejak lama, dan baru kusadari keberadaannya. Dan Terima Kasih telah memberiku peringatan kecil, bahwa PERADABAN SUDAH BERUBAH.”

Kemudian aku pulang, dan tidur. Mengingat hampir sebulan melewati malam-malam panjang tanpa tidur. Malam-malam penuh pergulatan batin dengan Lek John & Fiske. Bercumbu rayu dengan Solomon & Hawkins. Berpelukan mesra dengan Kotler & Engel. Dan Orgy bareng Fisher, Guba, Neumen, Norman, Mariampolsky, Skinner...

Dan pagi ini aku bangun dan berkata dengan penuh senyuman, “kumulai hidupku, hari ini juga...” meski terlambat sekian tahun, namun lebih baik terlambat memulai daripada tidak memulai sama sekali. Dan sesuatu yang negatif, yang mungkin sedang terjadi saat ini, masih lebih baik daripada tak satu pun yang positif. Kemudian aku pun kembali berjalan, memasuki gerbang kehidupan... memeluk mimpi dan meniti pelangi... menghampiri jutaan bintang yang kian menari.... karena tidak ada yang dapat menolong diriku, selain diriku sendiri...
Tuhan... terima kasih.


***teruntuk semua yang sedang dan masih berjalan menuju gerbang kehidupan dengan segala mimpi tak terperi***