15.9.10

Metamorfosa [jilid 2]



Dan hari itu, sekali lagi dihadapkan pada sebuah pilihan. Selayaknya manusia hidup, yang terus berproses. Menemukan rahasia alam satu demi satu, dan kemudian membukanya perlahan bila saatnya nanti. Bisa jadi adalah sesuatu yang indah, atau sebaliknya. Namun bisa juga sesuatu yang ada diantaranya, tidak indah tidak juga buruk. Setengah isi, setengah kosong. Membingungkan. Dan tak jarang membawa pada suatu dilematika.


Namun sekali lagi, harus tertanam di rongga jiwa. Bahwa hidup tetaplah tentang sebuah pilihan, yang selalu menyertai dalam tiap metamorfosa. Dan tak ada konsep benar atau salah daripadanya. Tidak juga salah ketika mungkin memilih untuk menjadi kepompong. Namun, bukankah menjadi kupu-kupu jauh lebih indah ?

Maka kutunggu saat itu tiba. Saat dimana tiada pilihan lain, selain menjadi kupu-kupu yang indah, yang menghiasi harumnya bunga di taman. Mengepakkan sayap kian kemari dan terbang bebas seringan kapas, seraya mengiring indahnya mentari pagi..

Dan kemudian, hujan pun turun lagi, hari itu..

Pedansa Resah... [continues]

biduk kecil kembali tersenyum, mendapati nikmat aroma ranum, dari tubuh sang lembayung, yang menebar benih kedamaian dan menyejukkan jiwa yang meradang... hingga sejenak lupa, kesunyian senja yang sempat gaduh mengaduh...

bukan aku, bukan kamu, bukan dia..
tapi DiriNYA yang ingin menempa dan menjadikannya perkasa
hingga saatnya tiba, di ujung raga..

[bersambung...]

Pedansa Resah

dan kesunyian pun bergemuruh, bertalu menabuh, mengoyak jiwa yang rapuh..


bersambung..

Sepenggal sore


Berjalan diantara ribuan kaki, dalam hembus semilir angin, yang menghapus penat, sore itu..
Sejuta wajah, sejuta ekspresi, mengisyaratkan makna, yang hampir semua sama. Musisi jalanan, membesut dawai, mengumbar nada, menghangatkan suasana. Merangkai harmoni hati kian abadi. Gurat paruh baya mengukir senyum ranum, di satu sudut. Hentak kaki si Budi kecil tampak mengiring, di sudut lain. Bagai lukisan tinta pesan damai, bagi juta jiwa yang merindukannya.


Kembali kaki melangkah, sore itu..
Menyusuri sisa hari, menuju bangunan tua penuh arti, dimana didalamnya nampak keramaian hakiki. Sebuah papan hitam putih kecoklatan bernuansa klasik, dengan barisan prajurit keraton dan raja diatasnya, memaksa nurani beranjak mendekat. Tampak kecil nan mungil, dengan lekuk detil, menjadikannya nyata dan indah memanjakan mata, menggerakkan jemari menyentuh lembut. Tanpa sadar terucap kagum, dan sejenak kemudian menganga dengan senyum minta ampun, mendapati patok angka 6 digit yang menggantung dengan culun. Harga yang pantas untuk sebuah kreativitas tanpa batas, namun menjadikan pribumi tak mampu merengkuh dengan bebas. Bukan karena tak suka, atau tak menghiraukan. Tapi lebih kepada keangkuhan harga.

Kembali melangkah, sore itu..
Mendapati riuh rendah yang kian nyaring. Hingga tertumbuk pada untaian kata dalam bingkai penuh warna, menyembul penuh pesona dari rimbun jutaan kepala. Tampak seorang dewasa, duduk meleseh, seperti pasrah diantara timbunan karya. Dengan pandangan acuh, jemari tirus legam terus mengayuh tak berpeluh. Mengayunkan serabut merak seperti penari di kesunyian senja dalam denting melodi tanpa notasi dan sebutir embun menetes menghiasi. Sebuah nada menyapa di ujung hulir, samar menggelegar memecah nalar. Menghantar narasi pilu berukir sembilu dari seorang dewasa yang pasrah meleseh dan mengiris genderang menyayat kornea. Mencoba mengungkap realita menjadi fakta kian nyata, menjadikan lembayung sutra sore itu kian papa. Secarik kertas biru berpacu satu persatu, menuju jiwa yang ingin tau, ‘tuk menghapus ragu. Dan Kisahpun terus melaju, kian syahdu, seolah diburu sang waktu, hingga membuih kian palsu. Menjadi dongeng dungu di sejuknya senja biru.

Kakipun kembali melangkah, sore itu..
Memutar arah, meninggalkan desah kisah, yang terus merekah merengkuh asa. Mengacuhkan tatap ragu kian padu, demi hasrat menggebu yang terus menderu. Sebuah hasrat dan mimpi manusiawi, tentang duniawi...

Dan kakipun kembali melangkah, sore itu..
Membelah kerumunan alap-alap dalam desir angin nan lembut membelai syaraf..
Mendapati lembut rembulan, telah berdiri menanti penuh senyuman dikejauhan sambil merentangkan kedua tangan. Dan kemudian berlari kecil, melompat, menari dan berputar, menyambut indahnya rengkuhan dan menikmati hangatnya pelukan.. Sang Rembulan..


***Jogja, Juni 2010***